Gunung Picung, Nuansa Asri Desa dan Etos Kerja Warga Lansia
Hamparan sawah, semilir angin, dan gemiricik air, rasanya sudah cukup membayar jauhnya perjalanan dari Depok ke Kampung Batu Alam, Pamijahan, sisi barat Bogor. Sekitar 2 jam lebih, kami harus menempuh perjalanan dengan bus tronton, menembus kemacetan Darmaga, dan jalan-jalan kecil menanjak di Desa yang hanya bisa dilalui satu mobil.
Begitu tiba, kami sudah disuguhi pemandangan sawah hijau yang menyambut ramah tamu yang datang berkunjung. Lelah di perjalanan pun langsung terobati dengan aliran air sungai yang tersenyum manis menyapa. Kampung Batu Alam, Desa Gunung Picung dikelilingi bukit-bukit yang berbaris rapi. Jalan menanjak sedikit ke atas, Gunung Salak sudah terlihat dari jarak dekat. Nuansa pedesaan tampak dari hamparan sawah yang ditanami padi, dan aliran air bersih di sisi jalan yang digunakan sejumlah warga untuk mencuci pakaian. Air yang mengalir ke pedesaan berasal dari Kawah Ratu yang bersumber dari Gunung Salak.
Seperti umumnya di pedesaan, rumah penduduk tak sepadat di kota. Namun, tersebar merata di seluruh penjuru desa. Warga yang menghuni RW 09 Kampung Batu Alam Desa Gunung Picung mencapai 1000 jiwa. Penduduk desa punya latarbelakang profesi berbeda. Ada yang menjadi petani, peternak, pemecah batu, guru, hingga pembuat karangan bunga atau yang dikenal dengan sebutan florist. Sebagian besar kaum lelaki muda bekerja merantau ke kota, seperti Jakarta, Bogor kota, Sukabumi, luar pulau, bahkan hingga ke luar negeri. Kalangan tua justru yang menggeluti pekerjaan asli desa, seperti bersawah, beternak dan memecah batu (mepreh dalam bahasa setempat)
Bapak Dadun salah satunya. Laki-laki yang sudah mempunyai 10 cucu ini menekuni profesi petani. Tenaganya masih tampak kuat saat menyabet rumput-rumput pengganggu (gulma) di sawahnya. Padahal usianya sudah mencapai 70 tahun. Mungkin, fisik prima ni didapat dari pengalaman ketika muda. Dulu, Pak Dadun memang menekuni pekerjaan proyek bangunan. Ia sudah kenyang pengalaman, merantau ke Sumatra, Sulawesi hingga Lombok. Kini, jejaknya diikuti anak-anaknya yang merantau ke Bali hingga negara Kamboja.
Lain halnya Bu Satih. Perempuan lansia berusia 64 tahun ini sudah 20 tahun lebih mepreh. Namun, usia senja tak menghalanginya terus berkarya. Batu alam hasil kerjanya dibeli orang untuk bahan cor bangunan. Di sela-sela pekerjaan utamanya, ia bekerja serabutan, salah satunya membuat dodol untuk hajatan. Ketika muda, ia sempat berjualan bakso bersama almarhum suami. Bu Satih hidup seorang diri di rumah yang luasnya tak lebih dari 40 meter persegi.
Kami merasakan aura keramahan dari warga ketika bersua di jalan-jalan. Sepertinya senyum, salam, sapa, sopan dan santun sudah merasuk sanubari, bukan sekedar slogan yang terpampang di display dinding seperti di kota-kota. Sayangnya, kami tak bisa lama bercakap-cakap dengan penduduk. Karena setelah waktu isya, warga sudah tertib menutup pintu dan jendela. Tak ada hilir mudik warga ataupun orang berjualan. Sunyi sepi. Hanya jangkrik bersahut-sahutan menyapa dalam kegelapan.
Kebiasaan tidur lebih awal tampaknya juga menular ke anak-anak seusia sekolah dasar. Nayla misalnya. Anak dari ketua RW ini tak pernah menyentuh gawai di malam hari. Pelajar kelas 6 ini terbiasa bangun saat adzan shubuh untuk bersiap shalat dan mengaji di Ustadz Hasan, imam masjid setempat. Anak-anak perempuan terbiasa mengaji ba'da shubuh sebelum berangkat ke sekolah. Hal yang sama juga terlihat pada anak-anak laki berusia 6-12 tahun. Mereka memenuhi masjid untuk menunaikan shalat shubuh.
Berkunjung ke Desa Gunung Picung, kita tidak cuma merasakan suasana asri pedesaaan, tapi juga keramahan warganya menerima pendatang. Bukan hanya itu, etos kerja warganya bisa menjadi sebuah pelajaran berharga. (df)
Komentar
Posting Komentar