Kekuatan Asing dibalik Konflik Suriah

Konflik politik Suriah sejak Maret 2011 lalu tidak lagi menjadi konflik internal antara Rezim Bashar Al Assad dan opisisi Suriah yang direpresentasikan dengan Dewan Nasional Suriah (SNC), namun telah berkembang menjadi konflik internasional. Berbeda dengan revolusi Arab lainnya, seperti di Mesir dan Libya, dalam konflik politik Suriah begitu banyak kepentingan asing bersinggungan. Dalam revolusi Mesir, intervensi politik asing, dalam hal ini, Amerika Serikat, tidak banyak mendapat penentangan dari negara lain, karena Mesir sejatinya memang sekutu politik Washington di Timur Tengah. Dalam revolusi Libya, intervensi memang menjadi sebuah intervensi militer, namun sekalipun demikian, tetap tidak ada dukungan masif dari blok negara penentang, yang ada hanya sedikit suara sumbang tentang perlunya penghormatan atas kedaulatan Libya.


Konflik politik Suriah melahirkan gesekan kuat antara “blok barat” yang diwakili Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis dengan “blok timur” yang diwakili Rusia dan Cina. Gesekan kedua blok terlihat sangat kentara di sidang-sidang PBB. Rusia dan Cina selalu memveto upaya pengutukan ataupun sangsi terhadap Rezim Bashar Al Assad dalam sidang Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Bahkan di tengah konflik, Russia menguatkan kerjasama militer dengan Suriah. Konflik politik Suriah bisa jadi mengarah pada “perang perpanjangan tangan” (baca: proxy war) sebagaimana Perang Korea di tahun 1950-1953, Perang Vietnam 1957-1975, dan Perang Afghanistan 1979-1989. Pihak-pihak mana yang berkepentingan di balik konflik politik Suriah?


Blok Barat

Kesuksesan revolusi di Mesir dan Libya makin mendorong Amerika Serikat terus bermain dalam proyek “ Timur Tengah Baru “nya. Meski revolusi ini juga mengorbankan sekutu Amerika Serikat, seperti Husni Mubarak di Mesir dan Ali Abdullah Saleh di Yaman, namun proyek pendongkelan rezim otoriter di Arab terus berlanjut. Sangatlah lugu bila kita sebut ini adalah proyek demokratisasi Timur Tengah. Faktanya, sekutu-sekutu Amerika Serikat dan barat di jazirah Arab, seperti Arab Saudi, Kuwait, Oman, dsb bukan negara demokratis tetapi monarki konstitusional, yang tentu berlawanan dengan ide demokrasi sendiri. Kepentingan bisnis dan politik lebih menjadi alasan utama dibalik proyek Timur Tengah Baru. Minyak dan bisnis senjata masih menjadi ambisi blok Barat menancapkan pengaruhnya di jazirah Arab. Namun kepentingan politik ternyata tak kalah penting. Suriah menjadi satu-satunya ganjalan di jazirah Arab setelah Irak ditundukan. Sebagian besar negara-negara Arab sudah berteman dekat dengan Amerika Serikat. Sementara Suriah juga lebih condong kepada blok Rusia dan Cina ketimbang Amerika Serikat dan blok barat. Suriah juga menjadi ancaman besar bagi Israel selain Iran. Suriah mempunyai kedekatan hubungan dengan gerakan Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Palestina yang menjadi musuh besar Israel. Dengan jatuhnya rezim Al Assad, ancaman terhadap keamanan Israel bisa diminimalisasi, dan rezim yang baru diharapkan bisa lebih mendekat ke Amerika Serikat dan blok barat.


Blok Timur

Dalam beberapa tahun terakhir, blok Timur yang diwakili Rusia dan Cina hadir sebagai penyeimbang dalam berbagai konflik internasional. Namun khusus untuk konflik Suriah, keterlibatan mereka bukan lagi sekedar nada-nada kritis yang terdengar sendu. Rezim Bashar Al Assad telah menjadi partner bisnis menguntungkan bagi Rusia terutama dalam bisnis senjata. Bahkan, hubungan mesra militer Suriah-Rusia diperlihatkan dengan tetap berdirinya pangkalan AL Rusia di pelabuhan Tartus sejak tahun 1963. Jatuhnya rezim Bashar Al Assad membuat Rusia kehilangan sekutu strategisnya dalam ekonomi, politik dan militer dalam membendung pengaruh Amerika Serikat di Timur Tengah. Selama berlangsungnya krisis Suriah, Rusia tidak berhenti menyupalai senjata ke Suriah. Konvoi kapal perang Rusia ke pelabuhan Tartus ditengarai sebagai bentuk dukungan Moskow pada Damaskus. Sedangkan bagi Cina, Suriah menjadi mitra ekonomi dalam ekspor produknya. Namun dukungan Beijing kepada Rezim Al Assad lebih kepada bentuk perlawanan terhadap Amerika Serikat yang selalu berupaya bertindak unilateral dalam berbagai masalah internasional. Cina juga gerah dengan tindak-tanduk Amerika Serikat di Pasifik, seperti menekan sekutu Cina, Korea Utara, dalam konflik Dua Korea, bersahabat dekat dengan Taiwan yang dianggap Cina sebagai provinsi Pembangkang, dan bermain-main dalam konflik di Laut Cina Selatan.


Iran

Dukungan Iran kepada Rezim Bashar Al-Assad bukan semata faktor keyakinan Syiah yang dianut Damaskus. Rezim Al Assad dibangun dan disokong kekuatan Partai Baath yang berideologi sosialis dan sekuler bukan syiah fundamentalis sebagaimana Rezim Teheran. Alasan utama Iran mendukung Suriah lebih kepada karena Suriah menjadi bagian aliansi strategis Iran dalam menghadapi ancaman Israel. Suriah, Iran, dan Hizbullah (Lebanon) menjadi poros Timur Tengah untuk melawan Israel. Sebagaimana Iran, Suriah tidak terlibat konflik langsung dengan Israel, namun Suriah secara aktif terus menyokong perlawanan terhadap Israel. Suriah menjadi perpanjangtanganan Iran dalam menyokong milisi Hizbullah di Lebanon Selatan. Suriah juga mengakomodasi para pemimpin Hamas Palestina di Damaskus . Ini yang menjadi alasan utama Iran yang menghendaki rezim Bashar Al Assad tetap berkuasa. Selain itu, Iran juga tidak ingin gejolak Suriah berimbas pada stabilitas Iran, yakni terletupnya gerakan revolusi kaum muda Iran yang dikenal kritis terhadap pemerintahnya.


Turki, Arab Saudi, dan Qatar

Tiga negara ini adalah negara-negara paling getol menyerukan pergantian Rezim Damaskus. Turki nyata-nyata menegaskan menyokong perlawanan oposisi Suriah. Turki juga tak khawatir terseret langsung dalam konflik karena penempatan militernya di perbatasan Suriah-Turki. Saat ini, Turki juga menjadi tempat pengungsian warga Suriah dan markas pejuang oposisi Suriah. Arab Saudi dan Qatar juga menyokong persenjataan gerilyawan, dan kerap menyentil Damaskus lewat statemen pemerintahnya yang mengutuk tindakan represi Rezim Bashar Al Assad. Kedua negara ini juga menjadi aktor penting dibalik upaya untuk mengutuk Suriah di sidang Majelis umum PBB. Dibekukan sementaranya keanggotaan Suriah di Liga Arab juga merupakan rangkaian manuver Arab Saudi dan Qatar. Tiga negara ini ditengarai juga menyuplai senjata dan logistik pejuang oposisi. Dukungan kuat Turki, Arab Saudi dan Qatar kepada oposisi Suriah disebabkan karena faktor keyakinan, yakni Islam Sunni. Konflik Suriah menjadi menjadi medan perang Sunni-Syiah seperti di Yaman, Bahrain dan Irak.


Ikhwanul Muslimin

Meski Suriah telah menjadi sahabat dekat Ikhwanul Muslimin Palestina (Baca: Hamas) dengan menampung para elit Hamas, seperti Kepala politbiro Hamas, Khalid Misyal, dan anggota politbiro lainnya. Namun kezaliman rezim Bashar Assad sudah terlalu banyak menumpahkan darah aktifis Ikhwanul Muslimin Suriah. Konflik Suriah menjadi momentum bagi Ikhwanul Muslimin Suriah yang sudah lama beroposisi untuk menggulingkan rezim Assad. Apalagi niatan ini didukung Ikhwanul Muslimin mesir yang menjadi “sokoguru” gerakan Ikhwan se-dunia. Sebagaimana diketahui revolusi Arab telah memberi berkah bagi IM dan organisasi-organisasi Islam yang berafiliasi dengan IM. Gerakan politik Islam mendapat apresiasi masyarakat dengan berhasil memenangkan pemilu ataupun menembus dua besar pemilu. Di Tunisia, partai Ennahda menang Pemilu dengan merebut 89 kursi. Di Libya, partai Keadilan dan Pembangunan meraih posisi dua besar. Namun menjadi satu-satunya partai tunggal, bukan koalisi partai, yang merebut suara terbanyak. Di Mesir, sang guru besar, IM Mesir lewat Partai Kebebasan dan Keadilan berhasil menjadi pemenang pemilu dan menempatkan kadernya, Muhammad Mursy sebagai Presiden. Jatuhnya rezim Assad bukan hanya diharapkan membawa IM Suriah naik ke tampuk kepemimpinan, namun ini akan menguatkan langkah IM sedunia menggapai cita-cita, membangun kembali peradaban Islam dengan kawasan Timur-tengah sebagai pilot project-nya.

Danni Ferianto

Komentar

Postingan Populer